Geger!! Silakan Berikan Saran, 9 Stasiun TV Berikut Habis Masa Izin, Lanjut Atau Tidak?
Menyusul peristiwa bom Jalan Thamrin Jakarta, awal pekan ini, Senin (18/1) media sosial riuh oleh perdebatan etika jurnalistik. Pangkal masalahnya adalah tayangan CNN Indonesia yang memberikan waktu panjang buat Muhammad Jibriel. Laki-laki ini adalah anak Abu Jibriel, yang masih mendekam di penjara sebagai terpidana terorisme.
Kritik terhadap CNN Indonesia tersebut bersamaan dengan woro-woro Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), bahwa izin siaran televisi akan habis pada tahun ini. Tak heran jika ada suara kencang yang minta agar izin siaran CNN Indonesia ditinjau kembali. Padahal CNN Indonesia baru mengudara beberapa bulan saja, sehingga dosanya pun masih kecil.
Tahun ini ada 9 stasiun televisi yang masa izinnya habis: RCTI, TPI, SCTV, AnTV, Indosiar, TV One, Metro TV, Trans TV dan Trans7. KPI mengimbau publik untuk memberikan masukan agar lembaga negara independen ini bisa menilai kemudian memberikan keputusan: izin diperpanjang atau dicabut.
Bagi publik imbauan KPI memberikan harapan agar ada stasiun televisi yang dicabut izinya karena selama ini menayangkan materi-materi tidak mutu. Putusan demikian akan mendorong stasiun televisi yang diperpanjang untuk menayangkan materi-materi berkualitas. Jika pun tidak berkualitas, setidaknya tidak merusak masyarakat.
Namun tak banyak yang tahu, bahwa KPI sesungguhnya hanya berwenang menilai isi siaran. Yang berwenang memberikan izin siaran adalah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Sebelumnya, Pasal 33 ayat (4) UU No 32/2002 menyatakan, bahwa izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh: a. masukan dan hasil evaluasi dengan pendapat antara pemohon dan KPI; b. rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran oleh KPI; c. hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadikan khusus untuk perizinan antara KPI dan pemerintah; dan, d. izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi oleh pemerintah atas usul KPI.
Lalu, Pasal 33 ayat (5) menegaskan, Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI.
Namun pada 2004, dengan membaca pasal-pasal lain, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) melihat adanya ketidakjelasan pengaturan tentang pemberian izin siaran. Mereka lantas mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menang. Mahkamah Konstitusi menyatakan, bahwa izin dan perpanjangan izin siaran sepenuhnya wewenang pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo.
Sejak saat itu KPI diremehkan oleh pemegang izin siaran. KPI hanya bisa memberikan sanksi administrasi, yang berupa surat peringatan. Surat ini keluar jika materi siaran dianggap melanggar Pedoman Peraturan Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Surat-surat peringatan itu pun tidak berarti apa-apa jika tidak ada putusan pengadilan yang memerintahkan pencabutan izin penyelenggaraan siaran.
Jadi, meski sudah berkali-kali mendapatkan surat peringatan dari KPI, tidak satu pun stasiun televisi peduli. Satu program acara diperingatkan dan dilarang, muncul program acara serupa dengan nama berbeda. Yang terkait dengan program jurnalistik, seperti yang dilakukan CNN Indonesia, juga tak kalah sering KPI melayangkan surat peringatan.
Saat terjadi bom Sarinah misalnya, TV One menampilkan sosok korban dan pelaku tertembak berdarah-darah secara jelas. Stasiun ini juga menyiarkan informasi tidak akurat: ada bom di lokasi lain selain di Sarinah. KPI juga memberikan peringatan Indosiar dan Inews karena visualisasi mayat tanpa disamarkan.
Menjelang dan selama Pemilu 2014 lalu, KPI juga berkali-kali meneriaki TV One dan Metro TV yang dianggap tidak netral dan tidak jujur dalam mengangkat berita- berita pemilu. Bagi TV One, pasangan Prabowo-Hatta berserta partai politik pendukungnya tidak ada celanya, sedangkan bagi Metro TV, Jokowi-JK beserta partai politik pendukungnya adalah the best.
Tetapi peringatan-peringatan itu hanya macan kertas, tidak berarti apa-apa terhadap keberlanjutan izin penyiaran. Sebab, kewenangan menerbitkan atau mencabut izin siaran ada di Kemenkominfo. Di sinilah titik krusialnya.
Presiden Jokowi berkali-kali mengeluhkan buruknya materi siaran televisi, tetapi banyak pihak ragu Menteri Kominfo punya nyali menindaklanjuti keluhan itu. Nyaris tidak ada orang percaya, Menkominfo berani mencabut izin televisi yang disalahgunakan pemiliknya: menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan pribadi, perusahaan, dan kelompoknya; bukan untuk kepentingan masyarakat, apalagi bangsa dan negara.
Tidak apa stasiun televisi mewawancarai anak terpidana kasus terorisme. Yang jadi masalah, CNN Indonesia terkesan memberi ruang luas buat Muhammad Jibriel untuk menceritakan apa dan bagaimana kelompok-kelompok yang selama ini dianggap sebagai teroris, bekerja dan berjaya. Stasiun milik Chairul Tanjung ini dianggap memberi kesempatan banyak untuk glorifikasi terorisme.
Kritik terhadap CNN Indonesia tersebut bersamaan dengan woro-woro Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), bahwa izin siaran televisi akan habis pada tahun ini. Tak heran jika ada suara kencang yang minta agar izin siaran CNN Indonesia ditinjau kembali. Padahal CNN Indonesia baru mengudara beberapa bulan saja, sehingga dosanya pun masih kecil.
Sama dengan radio, pengaturan siaran televisi diatur oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU No 32/2002). Pasal 34 ayat (1) huruf b menyatakan, izin penyelenggaraan penyiaran televisi diberikan untuk jangka waktu 10 tahun. Setelah dievaluasi, izin siaran itu dapat diperpanjang atau dicabut.
Tahun ini ada 9 stasiun televisi yang masa izinnya habis: RCTI, TPI, SCTV, AnTV, Indosiar, TV One, Metro TV, Trans TV dan Trans7. KPI mengimbau publik untuk memberikan masukan agar lembaga negara independen ini bisa menilai kemudian memberikan keputusan: izin diperpanjang atau dicabut.
Bagi publik imbauan KPI memberikan harapan agar ada stasiun televisi yang dicabut izinya karena selama ini menayangkan materi-materi tidak mutu. Putusan demikian akan mendorong stasiun televisi yang diperpanjang untuk menayangkan materi-materi berkualitas. Jika pun tidak berkualitas, setidaknya tidak merusak masyarakat.
Namun tak banyak yang tahu, bahwa KPI sesungguhnya hanya berwenang menilai isi siaran. Yang berwenang memberikan izin siaran adalah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Sebelumnya, Pasal 33 ayat (4) UU No 32/2002 menyatakan, bahwa izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh negara setelah memperoleh: a. masukan dan hasil evaluasi dengan pendapat antara pemohon dan KPI; b. rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran oleh KPI; c. hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadikan khusus untuk perizinan antara KPI dan pemerintah; dan, d. izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi oleh pemerintah atas usul KPI.
Lalu, Pasal 33 ayat (5) menegaskan, Atas dasar hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf c, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI.
Namun pada 2004, dengan membaca pasal-pasal lain, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) melihat adanya ketidakjelasan pengaturan tentang pemberian izin siaran. Mereka lantas mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menang. Mahkamah Konstitusi menyatakan, bahwa izin dan perpanjangan izin siaran sepenuhnya wewenang pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo.
Sejak saat itu KPI diremehkan oleh pemegang izin siaran. KPI hanya bisa memberikan sanksi administrasi, yang berupa surat peringatan. Surat ini keluar jika materi siaran dianggap melanggar Pedoman Peraturan Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Surat-surat peringatan itu pun tidak berarti apa-apa jika tidak ada putusan pengadilan yang memerintahkan pencabutan izin penyelenggaraan siaran.
Jadi, meski sudah berkali-kali mendapatkan surat peringatan dari KPI, tidak satu pun stasiun televisi peduli. Satu program acara diperingatkan dan dilarang, muncul program acara serupa dengan nama berbeda. Yang terkait dengan program jurnalistik, seperti yang dilakukan CNN Indonesia, juga tak kalah sering KPI melayangkan surat peringatan.
Saat terjadi bom Sarinah misalnya, TV One menampilkan sosok korban dan pelaku tertembak berdarah-darah secara jelas. Stasiun ini juga menyiarkan informasi tidak akurat: ada bom di lokasi lain selain di Sarinah. KPI juga memberikan peringatan Indosiar dan Inews karena visualisasi mayat tanpa disamarkan.
Menjelang dan selama Pemilu 2014 lalu, KPI juga berkali-kali meneriaki TV One dan Metro TV yang dianggap tidak netral dan tidak jujur dalam mengangkat berita- berita pemilu. Bagi TV One, pasangan Prabowo-Hatta berserta partai politik pendukungnya tidak ada celanya, sedangkan bagi Metro TV, Jokowi-JK beserta partai politik pendukungnya adalah the best.
Tetapi peringatan-peringatan itu hanya macan kertas, tidak berarti apa-apa terhadap keberlanjutan izin penyiaran. Sebab, kewenangan menerbitkan atau mencabut izin siaran ada di Kemenkominfo. Di sinilah titik krusialnya.
Presiden Jokowi berkali-kali mengeluhkan buruknya materi siaran televisi, tetapi banyak pihak ragu Menteri Kominfo punya nyali menindaklanjuti keluhan itu. Nyaris tidak ada orang percaya, Menkominfo berani mencabut izin televisi yang disalahgunakan pemiliknya: menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan pribadi, perusahaan, dan kelompoknya; bukan untuk kepentingan masyarakat, apalagi bangsa dan negara.
No comments: